Wednesday, May 20, 2015

Harapan Less

Tak sengaja melirik popup tray icon laptopku.. “I miss you in heartbeat”. Suara Joe Elliot khas rocker 80-

90an, dia sang punggawa Def Leppard yang suranya pagi ini bisa tiba-tiba memutar rekaman lamaku

untuknya. Jejaknya bukan jejak tapak kaki di pasir atau di salju yang mudah hilang ketika tersapu angin.


Jejaknya ada dalam memori kapasitas mega besar buatanNya yang bisa sewaktu-waktu mencuat, yang

tidak memiliki opsi erase atau format.

“Kopi mas?” Tawarannya pagi itu mengejutkanku, dikala mataku memelototi kualitas jaringan WAN ke

client.

“Eh,dek... abis bikin kopi ya? Apa?”

“Mas maunya apa,aku buatin,punyaku sih pake krimer”

“Kopi item aja deh dek, jangan banyak-banyak gulanya”

Dan dia pun berlalu menuju pantry yang lokasinya dibelakang meja kerjaku. Aku lock laptopku lalu

menyusulnya ke pantry. Aku melihatnya sedang membuat kopiku,rambut hitam lurus panjangnya

tergerai yang selalu membuatku ‘gatal’ untuk membelai.

“Udah dek? Disini aja lah, sambil ngerokok.”

“Masih panas mas” sambil menyudorkan secangkir kopi hitam pekat buatannya padaku.

Obrolan pagi itu berlanjut di pantry kantor, seraya menyeruput kopi. Aku berusaha asyik dengan

rokokku untuk tetap fokus pada obrolan tentang kerjaan. Aku tak ingin melenceng dari topik, karena

gagal fokus melihatnya.

Tidak ada yang bisa membohongi diri sendiri.

Begitu juga aku dan dia.

“Dek.,mas sayang kamu” Itu kalimat sederhana yang muncul ditengah obrolan kami di balkon cafe

malam itu setelah lembur untuk persiapan opening cabang baru esok hari. Buru-buru aku timpali lagi

ketika dia ingin mengutarakan sesuatu.

“Ga perlu penjelasan dek, mas tau. Mas juga ngga berharap apa-apa kok” Kalimat terakhir yang berisi

kebohongan, terpaksa aku ucapkan agar ... Ah, entah agar apa, aku cuma merasa sesak dengan

konsekuensi kebohongan kalimat terakhirku tadi.

“Mas, pulang yok, besok mas masih harus berangkat ke cabang lho. Jangan lupa, kemeja putih lengan

panjang dress code nya”

Aku cuma mampu mengangguk waktu itu, kuhabiskan seruputan terakhir kopiku, menyalakan rokok dan

menuju kasir. Dia hanya membuntutiku, membawakan jaket dan kunci mobilku. Ahhhh... perhatian

sederhananya itu yang membuatku sering tidak mampu menahan rasa ini.

“Mas, ati-ati, adek naik taxi aja, mas janji langsung pulang”

Aku tersenyum dan mengangguk pelan

“Adek juga sayang mas...” Kalimat terakhir malam itu diucapkannya dan lalu pergi menuju taxi.

---- 3 tahun kemudian ---

Kuputuskan untuk pulang ontime sore itu. Entah, penat sekali pikiranku, aku berencana melepas penat

tapi kemana?

Kuparkirkan motorku disebuah kedai kopi sederhana pinggir banjir kanal. Ah, ini tempat ini lebih tertata

ya sekarang, ada ruang terbuka hijau untuk public pula.

Sengaja aku berjalan-jalan sejenak melihat ruang terbuka hijau dipinggir banjir kanal itu.

Kupegang tubuh anak kecil itu, yang masih belajar berjalan, menubrukku dari samping. Aku elus anak

lelaki itu, dia tersenyum dan berjalan menuju bangku beberapa meter disebelah kiriku.

“Mas....”

Suara itu.., beberapa tahun lalu..,

Aku tersenyum menahan semuanya. Dan si kecil yang mulai terkantuk-kantuk dipangkuan ibunya sambil

memegang botol susunya.

“Si kecil ngantuk, ajak pulang sana, kasian. Minta jemput atau mau dipanggilin taxi?”

“Minta jemput siapa?! Taxi aja mas” Jawabnya sambil membereskan gendongan si kecil.

“Ati-ati, langsung pulang” Ucapku pelan.

“Dek.,


Dikirimkan Oleh : Adi Herristiawan
Twitter                 : @herristiawan

No comments:

Post a Comment